
MANADO – Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Sulawesi Utara, Kurniaman Telaumbanua, bersama Kepala Divisi Pelayanan Hukum, Marsono, dan Kepala Divisi Peraturan Perundang-Undangan dan Pembinaan Hukum, Apri Listiyanto mengikuti Diskusi Strategi Kebijakan (DSK) Kemenkum Maluku tentang Indikasi Geografis (IG), Selasa (14/10).
DSK yang digelar secara hybrid ini dihadiri oleh Kepala Badan Strategi Kebijakan Hukum, Andry Indrady, bersama Ketua Tim Kerja Indikasi Geografis Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) serta Kanwil Kemenkum se-Indonesia secara daring.
 Turut menjadi narasumber Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Teng Berliantri, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Maluku, Saiful Sahri, serta Ketua Tim Kerja Indikasi Geografis DJKI, Irma Mariana, yang hadir secara virtual.
Turut menjadi narasumber Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Teng Berliantri, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Maluku, Saiful Sahri, serta Ketua Tim Kerja Indikasi Geografis DJKI, Irma Mariana, yang hadir secara virtual.
Dalam sambutannya, Andry mengapresiasi inisiatif dan langkah progresif Kanwil Kemenkum Maluku dalam mengimplementasikan kebijakan perlindungan Indikasi Geografis di daerah.

“Arah kerja dan strategi yang disusun kawan-kawan di Kanwil Maluku sudah sangat sistematis dan jelas. Ini menunjukkan keseriusan untuk menjadikan Indikasi Geografis sebagai instrumen perlindungan hukum sekaligus peningkatan ekonomi daerah,” ujarnya.
Andry juga menyoroti tantangan geografis yang unik di Provinsi Maluku, dimana banyak daerah dan pulau tersebar jauh satu sama lain, termasuk wilayah Tiga Kuin, Pantai Kuin, hingga Seram dan Tanimbar.
“Kondisi geografis ini menjadi tantangan tersendiri dalam pelibatan masyarakat dan pengembangan produk IG. Namun, justru di situlah letak kekayaan dan keunikan Maluku yang perlu kita lindungi,” jelasnya.

 Menurut Andry, keberhasilan kebijakan tidak hanya bergantung pada penyusunan regulasi, tetapi juga kolaborasi lintas sektor yang melibatkan unsur pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat lokal.
Menurut Andry, keberhasilan kebijakan tidak hanya bergantung pada penyusunan regulasi, tetapi juga kolaborasi lintas sektor yang melibatkan unsur pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat lokal.
“Kita tidak bisa bekerja sendiri. Kita harus membangun team, kekuatan kolaborasi dan sinergi semua pihak, terutama pemerintah daerah, lembaga riset, dan masyarakat adat yang memahami kekayaan lokalnya,” tegasnya.
Andry juga mengingatkan pentingnya membangun komunikasi publik yang efektif agar kebijakan Indikasi Geografis dapat dipahami dan dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat.
“Masyarakat kini ingin melihat kebijakan yang berdampak nyata. Karena itu, kita harus mampu meramu kebijakan yang tidak hanya memberi perlindungan hukum, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah-wilayah penghasil produk khas daerah,” tambahnya.

Provinsi Maluku saat ini telah memiliki dua produk yang tercatat sebagai Indikasi Geografis, yakni Pala dan Kain Ikat, Andry mendorong agar jumlah tersebut terus bertambah melalui inisiatif daerah dan pendampingan dari Kemenkum.
“Potensi Maluku sangat besar, baik dari sisi kekayaan alam maupun non-alam. Kita ingin agar seluruh kekayaan itu mendapatkan pengakuan hukum dan nilai tambah ekonomi. Saya percaya, dengan kerja sama yang baik, Maluku akan semakin berjaya dan menjadi contoh bagi daerah lain dalam pengembangan Indikasi Geografis,” tutupnya.
Kegiatan ini juga menjadi ruang sinergi antara Kemenkum, akademisi, dan pemerintah daerah dalam mengidentifikasi potensi baru Indikasi Geografis di Maluku, sekaligus memperkuat komitmen nasional untuk menjadikan Kekayaan Intelektual sebagai penggerak ekonomi kreatif dan pelindung warisan budaya bangsa.




















