
MANADO - Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Sulawesi Utara, Kurniaman Telaumbanua, bersama para Kepala Divisi menghadiri kegiatan Pojok Literasi Hukum yang bertemakan Transformasi Hukum Pidana dalam KUHP Baru: Implementasi dan Strategi Penegakan Hukum di Tingkat Pusat dan Daerah. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum Kalimantan Timur, pada Selasa (11/11).



Dalam forum yang dihadiri secara virtual ini, Staf Ahli Menteri pada Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan sekaligus Ketua IP3I, Cahyani Suryandari, memaparkan materi tentang Transformasi Hukum Pidana: Hukum Adat dan Penyesuaian dengan KUHP. Ia menekankan bahwa pemberlakuan KUHP baru bertujuan mewujudkan dekolonialisasi hukum pidana, menghadirkan pendekatan yang lebih restoratif dan progresif, serta adaptif dengan budaya hukum Indonesia. Sinkronisasi hukum nasional menjadi langkah penting dalam menciptakan sistem hukum yang utuh dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Lebih lanjut, Cahyani menjelaskan bahwa KUHP baru memuat sistem pemidanaan modern dengan double track system, yaitu pemidanaan yang dapat berupa sanksi pidana maupun tindakan. "Selain penjatuhan pidana, dapat pula dikenakan sanksi tindakan sesuai kebutuhan penegakan hukum," ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Divisi Peraturan Perundang-undangan dan Pembinaan Hukum Kanwil Kemenkum Kaltim, Ferry Gunawan Christy, memaparkan materi mengenai pengaturan tindak pidana baru dalam KUHP. Ia menjelaskan bahwa munculnya pengaturan tindak pidana baru serta pengkodifikasian kejahatan luar biasa seperti korupsi, terorisme, dan narkotika merupakan upaya untuk menyesuaikan hukum pidana dengan perkembangan zaman dan memperbaiki sistem hukum warisan kolonial.

Wakil Menteri Hukum, Eddy Hiariej, dalam pandangan pengarahannya mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam proses transformasi aturan pidana ke dalam peraturan daerah. Menurutnya, perumusan ketentuan pemidanaan pada tingkat daerah tidak boleh mengulang, tumpang tindih, atau bahkan bertentangan dengan KUHP maupun undang-undang lainnya.
“Ketika memformulasikan norma perintah atau larangan yang berkonsekuensi pidana dalam peraturan daerah, harus benar-benar cermat agar tidak terjadi pengulangan, overlapping, ataupun pertentangan dengan ketentuan yang sudah diatur dalam KUHP maupun Undang-Undang,” tegas Wamen.






